Senin, 08 Juli 2013

Pentingnya Mengungkapkan Rasa Cinta

`Saat Suami Di tugaskan Ke Luar Kota Selama Beberapa Bulan,Barulah Saya Sadar Berapa Berartinya dirinya. Padahal Selama Ini Saya Seperti Tak Punya Waktu Untuk sekedar Menunjukkan Perhatian Dan Rasa Cinta Saya Kpdnya.

Pernahkah kita duduk sejenak,meletakkan semua rutinitas dalam Keranjang lalu menaruhnya di sudut ruang? duduk sejenak dan mengatur napas pelan".Melihat Hal" Yg selama ini terlewatkan.Bukan,Bukan Debu Di ujung JendelaYg Lupa Kita Bersihkan, Atau Setumpuk Majalah Lawas yg belum juga beranjak ke gudang Belakang.Bukan Itu. Tapi Coba Kita lihat ke ranjang. bukan bantal ataupun selimut,tapi seseorg yg selama ini berbaring di salah satu sisinya menemani setiap malam dan bersama-sama menjemput pagi.Ya Suami Tercinta. Bagaimana Kabarnya hari ini ? apa yg sedang menjadi pikirannya , atau beberapa bahagia dia dengan hari"nya?
Sebagai Seorg iBu dg dua anak yg masih kecil dan menuntut Perhatian penuh,Terkadang saya abai untuk memberikan perhatian kpd suami. padahal saya tau, dia toh tidak meminta banyak tapi berbekal kata “Capek ah, Mau Istirahat dulu ah!” saya membiarkan suami menonton TV sendirian Hingga Mengantuk dan pergi tidur.Oh teganya ...Tega...Tega..
Sekarang setelah Suami Bertugas di Luar kota Hingga Beberapa Bulan Ke Depan, Barulah aku sadar.saya rindu saat" dulu Menanti suami Pulang kerja dan Menyiapkan sederet Omelan jika dia pulang telat (karena khawatir setengah mati!), saat-saat santai berdua ketika anak-anak sudah tidur, atau ngobrol di dapur sambil meributkan hal-hal kecil.dia yg selalu sigap.mengambil alih anak" setiap kali melihat saya kelelahan dan membiarkan saya menikmati ME TIME sebanyak yg saya butuhkan.
Bahkan saya rindu dengan kebiasaannya yg seka seenaknya,tidak mengembalikan barang ke tempat semula dan tidak pernah mau mencari sendiri barang" yg dia butuhkan.Namun Begitulah suami yg saya cintai.


To Be Continue !!
》》》》》》
Bersambung !!
》》》》》》

Minggu, 12 Mei 2013

Cerpen Persahabatan - Tetesan Air Langit


saya persembahkan sebuah cerpen persahabatan untuk kalian semua oke sekian pembukaan saya

Cerpen Persahabatan - Tetesan Air Langit

Sore itu, mendung terlihat lebih kelabu dari biasanya. Aku mendengarkan penjelasan guru Les Bahasa Asingku sambil menatap jengkel ke luar jendela. Hujan…aku benci hujan. Aku benci saat aku harus mendengar gemericik air jatuh dari langit. Rasanya, hujan selalu menyebalkan bagiku. Aku terpejam sesaat, merasakan dinginnya udara. Daun jendela disebelah tempatku duduk sepertinya sengaja dibuka, membiarkan angin dari luar masuk kedalam ruangan yang sebenarnya sudah ber AC.
Kembali aku menatap nanar keluar jendela. Ya, hujan memang selalu menyiksaku. Menyiksa dan memaksa otakku memutar lagi kejadian pahit masa lalu. Memaksa dan menyeretku untuk berdiri lagi ditempat dimana aku harus menyaksikan orang yang berharga dalam hidupku lemah tak berdaya. Hujan telah merenggut dengan paksa adik yang ku sayangi. Sekali lagi, kejadian itu perlahan-lahan berputar dalam ingatanku. Tiba-tiba daun jendela terbanting keras dan bersamaan dengan bunyi gemuruh petir, aku tersadar dari lamunan masa laluku.
Bel pulang telah berbunyi, aku segera bangkit dan berjalan keluar kelas. Berusaha meloloskan diri dari jeratan bayangan masa lalu. Di teras, aku terpaku sesaat. Melihat hujan yang sepertinya semakin deras. Aku menghampiri bangku kayu yang sengaja di taruh di teras untuk menunggu. Mataku menerawang jauh. “Kak..payung Kak?” aku terlonjak kaget. Tiba-tiba seorang gadis kecil berdiri didepanku. Kulihat dia,seluruh tubuhnya basah. Di tangan kanannya terdapat sebuah payung,sedangkan tangan kirinya memegang payung untuk dirinya sendiri. “Mau payung Kak?” Dia mengulangi pertanyaanya sambil menyodorkan satu payung dari tangan kanannya.Aku menggeleng. “Tidak…terimakasih” ia melangkah meninggalkanku.
Kupandangi punggung gadis kecil itu yang semakin menjauh berjalan ditengah hujan. Sedikit tersentuh aku melihatnya. Walaupun prihatin,tapi aku kadang-kadang juga sebal dengan pengojek payung yang kebanyakan anak-anak itu. Pasalnya, beberapa dari mereka, menawarkan jasa payung dengan tidak sopan. Menarik-nari baju atau mengejar dan sedikit memaksa.
“Non Rere…” lagi-lagi aku tersentak. Tak menyadari kehadiran Bang Maman, sopirku. “Mari pulang Non…” katanya sambil menunduk-nunduk dan menyodorkan payung kearahku. Aku mengangguk. Sambil sedikit berlari kearah mobil.  Sepintas aku melihat gadis kecil tadi berdiri dibawah pohon didepan tempat Lesku. Masih dengan pakaian yang serampangan dan tubuh basah kuyub,namun matanya memancarkan suatu kebahagiaan. Ya, kebahagiaan ditengah hujan.
***
Aku memilih beristirahat dibawah pohon akasia di taman kota. Ku keluarkan sebotol air mineral dari dalam tasku. Hari ini, sengaja aku berjalan dari sekolah ke rumah. Bukan apa-apa, hanya saja Bang Maman sakit, jadi kubiarkan dia beristirahat di rumah. Selain itu juga karena aku merindukan masa-masa SD dulu, dimana aku bisa berjalan dari rumah kesekolah sambil menikmati dunia yang dulu tak seperti ini, tak sepenat ini. Kuteguk lagi air dalam botol mineralku.
‘‘Boleh minta, Kak?” aku mendongak kearah suara itu. “Gadis kecil itu lagi” bisikku dalam hati. ia memandang dengan sorot lembut kearahku. Sesaat aku bingung dengan kelakuannya yang sok akrab. Kusodorkan botol air mineral kepadanya. Segera ia menerima dan meneguknya hingga habis. ‘‘Maaf kak, habis” katanya sambil tersenyum. “Gak apa..masih banyak kok dirumah” kataku. Aku menepuk-nepukkan tanganku dibangku di sampingku, menyuruh dia untuk duduk.
“Adek..yang kemaren kan?” ia mengangguk, “mana payungnya?” kataku sambil tersenyum dan menunjuk langit yang siang ini terlihat cerah. Ia tertawa. “Ngojek payung biar gak kepanasan ya kak..” katanya. Kuperhatikan lagi bajunya, banyak bagian yang sobek dan dijahit dengan asal. Ia menjulurkan tangannya. “ Eva” katanya memperkenalkan diri sambil tetap menyunggingkan senyumnya yang ternyata sangat manis. “Renata. Tapi bisa dipanggil, Rere” kataku.
Aku berbincang-bincang dengannya beberapa saat, ternyata dia anak yang cerdas dilihat dari caranya berbicara. Bahkan aku bisa tertawa lepas sambil menimpali gurauan Eva yang membuat perutku sakit. Sesekali kulirik rambutnya yang memanjang itu terhempas seirama tiupan angin dibiarkan terurai begitu saja namun terlihat sangat halus dan natural, rambut yang indah untuk ukuran seorang gadis pengojek payung yang gemar berkutat dengan hujan.
Kini aku tau, dia adalah seorang anak yatim piatu yang sekarang tinggal di sebuah panti asuhan. Ibunya telah lama meninggal saat ia berumur satu tahun, sedangkan ayahnya meninggal dalam kecelakaan tiga tahun lalu. Yang mengenaskan, panti asuhannya terancam tutup, karena banyaknya hutang dan tidak adanya biaya dari pemiliknya. Untuk membantu ibu asuhnya, ia mencari uang dengan mengojek payung. Saat kutanyakan berapa hasil dari mengojek payung, dia menjawab dengan terkekeh,  “ngojek payung gak bakal bisa bikin kaya kak..gak tentu juga bisa bikin kenyang. Hasilnya..ya bikin basah..” aku kembali tertawa mendengar perkataanya. Dilihat dari postur tubuh dan wajahnya, dia kira-kira berusia sembilan tahunan. Sama seperti usia adikku, jika ia masih ada. Karena merasa nyaman bersamanya, aku sepakat bertemu lagi untuk berbincang-bincang lagi dengannya.
***
Februari, bulan yang basah. Bulan yang menyebalkan bagiku, namun tidak bagi Eva. Baginya, hujan adalah sebuah anugerah terindah selain hidupnya. Entah kenapa, dia begitu menyukai hujan, terlepas dari profesinya. Aku masih termenung dibawah pohon akasia, ditempat dimana aku bertemu dengan gadis kecil yang ia sebut dirinya sebagai Eva. Kubiarkan rintik-rintik air menerpaku.
“Kak…” Eva duduk disampingku sambil menyandarkan punggungnya di pohon. Kupandangi rambutnya yang mulai basah karena rintik hujan. Dia hanya diam sambil terus menatap gerimis. Tiba-tiba ia bangkit, mengambil dua payungnya yang tergeletak ditanah. Satu ia pegang dan satunya ia berikan kepadaku. Ia menarik lenganku, mengajakku menembus gerimis yang sebentar lagi akan menjadi hujan. Aku masih terdiam ditempatku. “Aku tak suka hujan,” kataku. Ia tersenyum, lalu menarik tanganku lagi. Kali ini aku tak menolak.
Eva membawa payung, namun tak menggunakannya. “ kenapa tak kau pakai payungmu, Eva?” tanyaku. “ Payung ini?? sudah  kadaluarsa kak..” jawabnya sambil meperlihatkan payung itu dan tertawa. Aku ikut tertawa mendengarnya. Bisa kulihat jika payung yang ia bawa itu berlubang di beberapa bagian. Bahkan sebenarnya sudah tak layak pakai dengan pegangan yang telah berkarat.
“Bagaimana tentang panti asuhan itu?” aku bertanya kepada Eva yang sedang berlari-lari kecil menyusuri trotoar dan sesekali meninggalkanku dibelakangnya. Ia berhenti sejenak,” entahlah..” jawabnya singkat. Lalu kembali berlari melompati kubangan air. Saat melihatnya, terbesit rasa prihatin dalam hatiku.
Hey, bukankah ayahku seorang pengelola panti asuhan juga?? Kenapa aku bisa selupa ini. Mungkin saja aku bisa membantunya untuk pindah ke panti asuhan yang ayah kelola. Hanya saja, ayah begitu sibuk, hampir tak pernah aku mendapatkan waktu bersamanya. Bahkan sekalipun tak pernah ia bercerita mengenai panti asuhan itu, kalau bukan Bang Maman yang cerita, aku juga tak akan tau.
Aku berlari meyusul Eva. “ Bagi kami..hujan itu anugerah…” katanya sambil memandang sendu kearah segerombolan anak-anak yang berlarian ditengah hujan. Dan ketika kuperhatikan, mereka semua adalah pengojek payung. Hatiku seperti tersengat sesuatu yang membuatnya pilu. Entah, kemana saja aku selama ini hingga tak tau kalau ditengah keramaian dan kemewahan ibu kota ini masih ada anak-anak yang seperti itu. Hampir saja air mataku menetes melihatnya.
“hey kak..jangan salah dulu. Kami semua ini bahagia, kami bahagia saat harus berlarian ditengah hujan. Bahkan suatu anugerah bagi kami..” Eva yang sepertinya tau kesedihanku menepuk bahuku pelan. “ hujan itu indah bukan kak? Lantas, kenapa kakak begitu membencinya?”Aku menerawang jauh, kembali mengingat masa lalu yang sebenarnya setengah mati ingin ku buang. “Adikku….Reno, mungkin kalau dia masih ada, ia seusiamu. Laki-laki kecil yang pemberani. Begitu menyukai hujan,seperti kamu yang juga menyukai hujan…” aku tersenyum kecut. Eva memperhatikanku.“ dia, suka sekali berlarian ditengah hujan. Bermain-main saat gerimis datang. Baginya, hujan adalah sebuah kebahagiaan yang jatuh dari langit.
Sejenak terlintas dalam ingatanku, wajah Reno yang begitu ceria saat hujan datang. Aku kembali bercerita, “tapi..hujan juga yang telah merenggutnya dari dunia. Saat dia bermain didepan rumah, hujan yang begitu deras membuatnya jatuh dan terperosok kesungai. Tidak ada yang tau, dan dua hari kemudian mayatnya ditemukan disungai itu. ” aku masih menahan air mataku. “ Bukan hujan Kak..tapi takdir,” sergah Eva. Sejenak aku berfikir, mungkin benar apa yang dikatakan gadis kecil ini, mungkin juga memang takdirlah yang telah membawa adikku pergi, bukan hujan. Hari itu, untuk pertama kalinya aku tersenyum diantara hujan.
****
Sengaja untuk hari ini aku tak menemui Eva. Setelah pulang dari sekolah,aku langsung sibuk dengan payung-payung yang ku beli tadi. Aku bukan ingin berali profesi menjadi seorang pengojek payung, hanya saja ini kupersiapkan untuk gadis kecil dan teman-temannya yang selalu berkutat diantara hujan itu.
Tinta lukis yang telah kusiapkan, kini berada ditanganku. Aku mulai melukis diatas payung itu satu persatu. Kebetulan aku sangat suka melukis dan sempat mendapatkan beberapa penghargaan dari bakatku ini. Ada berbagai gambar disana. Kupikir, payung-payung ini akan berguna bagi mereka. Karena kemarin kulihat payung mereka sudah usang. Setelah semua selesai kulukis, kusuruh bang Maman memasukkan payung-payung itu ke mobil.
Dan semalam, aku juga telah merundingkan masalah panti asuhan itu pada ayah, dan ternyata beliau setuju menjadi donatur untuk panti asuhan itu. Baiklah, ada dua kejutan disini. Pertama, payung yang kubuat khusus untuk para pahlawan hujan itu, yang tentunya Limited edition. Dan kedua, panti asuhan mereka akan selamat dari kejaran para rentenir gila itu. Aku bersiap untuk segera meluncur ke panti asuhan, setelah menyempatkan diri melirik kaca untuk melihat penampilanku,aku segera menuju mobil dan pergi kesana.
***
“udah sampai Non” kata bang Maman sambil melirik kearah bangunan yang cukup tua tapi masih terawat rapi. Ada papan yang bertuliskan “Panti Asuhan Kasih Bunda” di depan pagar besi yang telah berkarat. Aku segera turun dan masuk kehalaman. Kulihat banyak anak kecil yang bermain disana. Mereka sejenak menghentikan aktivitasnya dan melihat kerahku. Aku tersenyum dan mereka membalasnya.
“Kak Rere?” seseorang dari dalam rumah memanggilku, dan setelah keluar, ternyata itu Eva. Aku tersenyum. “Apa yang membuat kakak mau datang kesini? ” tanya Eva sambil memperhatikan bungkusan besar yang kubawa. “ Ini..cobalah kau lihat dan kau bagi dengan temanmu” aku menyodorkan bungkusan itu. Ia membuka dan mengintipnya. Lalu mengeluarkannya satu persatu. “Waahh..bagus sekali kak” ia melihat payung itu takjub. Aku tersneyum puas melihat ekspresinya.
“Siapa Va? “ seorang ibu setengah baya keluar, mencoba melihat apa yang terjadi. “Ibu…saya Rere,” aku memperkenalkan diri. Setelah itu kami berbincang-bincang, membicarakan masalah panti asuhan yang akan ditutup ini. Kutawarkan bantuanku, ternyata ibu yang bernama Hera itu sangat senang. Ia memelukku erat ambil meneteskan air mata bahagia.
“Sudah ku bilang, hujan itu anugerah kan kak…” kata Eva memecah keharuan kami berdua. Aku mengangguk.  ‘’Hujan yang mempertemukan kita, hujan yang membuat kakak tau bahwa begitu banyak keindahan yang belum kakak mengerti,” lanjut Eva. Aku melihat gadis kecil disampingku itu. Aku kagum juga padanya, seorang anak sembilan tahun yang telah mengerti tentang hidup lebih dari yang kumengerti. “Hujan yang membawa kakak kemari, dan hujan yang membuat kakak sadar bahwa Reno pergi karena takdir,” kata Eva kemudian. Aku melihat kagum kearahnya, kupeluk dia, erat sekali. Dan kini, hujan pun tersenyum padaku.

Sumber http://kumpulan2cerpen.wordpress.com/category/cerpen-persahabatan/